Kamis, 16 Februari 2012

Berasa di Singapore...

Berasa di Singapore

Finally, my writing mood is back! Horeeeeeee…

Sampe kantor langsung ke toilet, cuci muka. Bersihin debu-debu indah yang menempel di muka karena harus menempuh 1 jam dengan kendaraan umum. Terus… Bikin teh manis hangat, buka ransum, makan pagi sambil dengerin lagu-lagu slow yang membangkitkan mood kerja, nyamaaaaaaaannnnnn… Apalagi ruangan ini hanya aku seorang, secara bu Boss lagi travel ke luar kota, temen-temen juga belom pada datang, ruangan ini hanya milikku seorang… Hehe…

Hari ini penuh berkah, semua kendaraan umum yang aku mau tumpangi on time sekali… Angkot M 44 berhasil mengantarkanku dari Mall Ambassador ke Stasiun Kereta Api Tebet hanya dalam waktu 10 menit kurang lebih. Dan kereta commuter dari Tebet ke Pasar Minggu juga gak lama nunggunya, sekitar 10 menitan juga. Dan setelah turun dari kereta di Stasiun Pasar Minggu, nunggu M 17 untuk sampai di Simatupang juga sekitar 5 menitan. Alhamdulillah, berkah di pagi hari.

Jadi sejak beberapa bulan yang lalu kantorku pindah dari kawasan Mega Kuningan yang sophisticated ke kawasan TB Simatupang yang tandus. Kacrut bener deh, yang tadinya Cuma 5 minutes by foot jadi 5 hours by foot. Hmph… Tapi untungnya walaupun tambah jauh, dari segi transportasi masih ena, karena melawan arah, jadi naik kendaraan umumnya juga ndak penuh. Masih sering dapat bangku untuk duduk. Tapi ya, kalo dulu uang transport bisa diirit dan dipake buat yang lainnya, sekarang jadi terpakai penuh, malah kadang kurang.

Dulu untuk sebulan kurang lebih hanya terpakai sekitar kurang lebih Rp 200,000.- dengan hanya melibatkan tukang ojek. Sekarang kalo pake sistem lama, alias lagi banyak uang, sebulan kurang lebih terpakai sekitar Rp 660,000.- dengan melibatkan ojek, bus transjakarta dan angkot. Selisih Rp 460,000.-, gila bener deh. Tapi yang mau diapain, hidup harus dijalani, mungkin net off atau subsidi silang sama biaya transport selama 5 tahun yang lalu selama di Mega Kuningan. Makanya, memang menabung itu penting, untuk hal-hal seperti ini, life is up and down, kadang di atas kadang di bawah, dan itu mutlak. Kalo dipikirin doing bikin pusing, memang harus dijalani dan disyukuri bahwa kita masih lebih beruntung daripada orang lain. Dan alhasil, setelah berkubang dalam dunia pemikiran yang sangat mendalam, didukung oleh keadaan yang membuat aku harus mengencangkan ikat pinggang seerat-eratnya, aku menemukan cara pengiritan yang lebih baik lagi, yaitu dengan menggunakan kereta api dan angkot. Kalo aku hitung-hitung, pengeluaran untuk transportasi selama sebulan adalah sebesar kurang lebih Rp 440,000.- dengan melibatkan angkot dan kereta api. Walaupun jalan agak memutar, tapi lumayan deh bisa pengiritan, sisa dana bisa dipake buat yang lain. Bener-bener win-win solution, total pengeluaran lama ditambah total pengeluaran baru dibagi dua sama dengan Rp 430,000.-. Jadi memang harus seperti itu penyesuaiannya. Gak pa pa lah, hidup kalo gitu-gitu aja juga bosan. Kalo gak ada kejadian pindah kantor, gak mungkin aku menikmati naik kereta seperti sekarang ini.

Life style, it’s gonna be my next life style! Enak juga ternyata naik kereta, tapi lebih enak kalo berangkat sepagi mungkin, jadi gak panas udaranya. Dan berasa kayak di Singapore, naik MRT. Jalan kaki dari tempat tinggal buat sampai ke pemberhentian angkot di depan Mall. Trus ke Stasiun, anggap aja turun ke subway, cuma masih pake tiket sobekan, soalnya tiket yang elektronik sudah habis, sangat disayangkan. Trus turun kereta jalan dikit, sudah dapet angkot lagi, dan turun angkot di depan kantor. Everything is getting easier for me. So, we have to be grateful to Allah that we still have job, so we can still earn money to live. We still can enjoy walking around Jakarta, our beloved Capital City of Indonesia. And of course meet friends and other reality of live who enrich our live with experiences.

Jadi, selamat bekerja semuanya. Selamat beraktivitas kembali. I love you all…

Kamis, 16 Juni 2011

Hancur Hatiku

Aku pernah pergi ke matahari untuk merasakan cinta yang membara. Aku tak takut bercengkerama dengan apinya yang panas, yang membuat hati pun berdecak kagum akan sinarnya yang tajam dan menarik untuk digenggam.

Sangat disayangkan karena aku gak boleh tinggal di matahari karena akan terbakar terlalu lama. Tak selamanya hidup penuh hawa panas itu menyenangkan dan menenangkan. Karena itu aku coba untuk ke bulan. Aku pikir memang ini saatnya untuk aku melupakan api yang hangat itu. Aku harus segera mematikannya. Aku harus membuat hati yang tadinya membara menjadi beku untuk selamanya. Membiarkan dinginnya bulan menusuk ke hati, membuat jadi beku luar dan dalam. Kaku namun tidak busuk.

Hatiku sudah hancur beberapa bulan yang lalu... Sudah terbanting dan pecahannya entah tersebar kemana saja. Beberapa bulan ini aku mencoba mencari dan mengumpulkannya lagi satu persatu... Tapi aku lelah... Masih lama kah masa pencarian serpihan itu? Apakah masih ada serpihan2 itu? Kalau yang potongannya seperti debu akankah ditemukan juga? Bolehkah aku mencari hati yang baru saja? Lebih praktis, gak capek, masih mengkilat, tinggal bayar.

Tapi tetep gak bisa khan?

Jangan Diraih

Tinggi sekali gunung itu... Indah... Nyaman... Sejuk... Dan hijau... Kokoh dia berdiri... Tegak menjaga bumi... Seperti pasak pada tiangnya...

Mentari selalu bergumul dengannya... Bunga-bunga tak henti-hentinya bermekaran mengelilinginya... Namanya juga gunung, cuek, tapi terlihat seperti berjiwa besar... Membuat kagum walau tidak berbuat apa-apa...

Aku ingin mendakinya... Tapi kayaknya tinggi banget... Ingin menjajaki hutannya, tapi apakah aman... Kalau cuma melihat dari jauh aku berani... Tapi kok hatiku bilang,"Jangan diraih!"

Kangen

Kamu ada dimana?
Aku masih disini lho..
Nanti kamu kembali kan?
Gimana kalo aku tunggu aja?
Enggak usah jauh-jauh yah...
Nanti biar aku ketemu kamu lagi...

Mata

Kututup mataku agar kau ada...
Kumatikan lampu ini biar kau ada...
Kutak biarkan mentari terbit supaya kau ada...
Kubiarkan hanya bulan temaram yang menerangiku karena kau ada...

Dalam gelap kuberharap...
Jangan terang, biarkan malam tetap...
Kalau terang kau menghilang...
Karena esok aku jadi tak tenang...

Tinggal saja... Jangan pergi...
Biarkan malam... Gelap malam...
Kamu disini...
Walau mata harus kelam...

Pergi ke Bulan

Aku sudah lelah hidup di matahari. Panas, liar, dan penuh ketidakpastian walaupun aku tau hangatnya cinta dan intimasi ada disana. Tapi aku gak bisa hanya menunggu dan tak hidup maju.
Ada cinta yang kutinggal disana, cinta itupun akhirnya benci padaku, tak mau dekat dan menjauh. Harusnya aku bisa saja benci juga, tapi cinta tidak bisa dikuret dalam sehari. Tangisku belum berakhir. Bencipun tak bisa muncul.

Aku harus ke bulan. Haruskah ku ke bulan? Dingin, kaku, dan sepi. Tak ada korona2 yang menyelubungiku lagi. Aku memang tidak punya cahaya lagi. Aku menumpangkan cahaya pada matahari. Matahari yang pernah menyayamgiku dulu. Matahari yang pernah memberi sinar di hati.

Aku menerawang lagi, aku bimbang lagi, aku benci keadaan yang membuat ku bimbang. Aku benci bertemu orang yang membuat aku bimbang. Aku benci kebimbangan.

Mimpi Di Batas Terujung

Aku bisa melihat... Aku bisa mendengar... Dan aku bisa merasakan... Tapi bukan untuk memiliki...

Peduli berlebihan sudah... Khawatir gak penting jg sering... Perhatian... Jangan ditanya deh...

Mau maju... Suatu hal yang gak mungkin... Mau mundur... Kok sayang ya? Kalo ditengah aja gak dapet apa-apa...

Dia juga denger... Dia juga lihat... Dan dia juga merasakan... Tapi sama gak ya?

Mimpi ya cuma mimpi... Indah... Tapi sesaat dan nagih... Masih bisa gak ya? Mmmm... Gak yakin... Tapi... Ya sudah lah... Karena mimpi sudah di batas terujung...