Kamis, 16 Juni 2011

Hancur Hatiku

Aku pernah pergi ke matahari untuk merasakan cinta yang membara. Aku tak takut bercengkerama dengan apinya yang panas, yang membuat hati pun berdecak kagum akan sinarnya yang tajam dan menarik untuk digenggam.

Sangat disayangkan karena aku gak boleh tinggal di matahari karena akan terbakar terlalu lama. Tak selamanya hidup penuh hawa panas itu menyenangkan dan menenangkan. Karena itu aku coba untuk ke bulan. Aku pikir memang ini saatnya untuk aku melupakan api yang hangat itu. Aku harus segera mematikannya. Aku harus membuat hati yang tadinya membara menjadi beku untuk selamanya. Membiarkan dinginnya bulan menusuk ke hati, membuat jadi beku luar dan dalam. Kaku namun tidak busuk.

Hatiku sudah hancur beberapa bulan yang lalu... Sudah terbanting dan pecahannya entah tersebar kemana saja. Beberapa bulan ini aku mencoba mencari dan mengumpulkannya lagi satu persatu... Tapi aku lelah... Masih lama kah masa pencarian serpihan itu? Apakah masih ada serpihan2 itu? Kalau yang potongannya seperti debu akankah ditemukan juga? Bolehkah aku mencari hati yang baru saja? Lebih praktis, gak capek, masih mengkilat, tinggal bayar.

Tapi tetep gak bisa khan?

Jangan Diraih

Tinggi sekali gunung itu... Indah... Nyaman... Sejuk... Dan hijau... Kokoh dia berdiri... Tegak menjaga bumi... Seperti pasak pada tiangnya...

Mentari selalu bergumul dengannya... Bunga-bunga tak henti-hentinya bermekaran mengelilinginya... Namanya juga gunung, cuek, tapi terlihat seperti berjiwa besar... Membuat kagum walau tidak berbuat apa-apa...

Aku ingin mendakinya... Tapi kayaknya tinggi banget... Ingin menjajaki hutannya, tapi apakah aman... Kalau cuma melihat dari jauh aku berani... Tapi kok hatiku bilang,"Jangan diraih!"

Kangen

Kamu ada dimana?
Aku masih disini lho..
Nanti kamu kembali kan?
Gimana kalo aku tunggu aja?
Enggak usah jauh-jauh yah...
Nanti biar aku ketemu kamu lagi...

Mata

Kututup mataku agar kau ada...
Kumatikan lampu ini biar kau ada...
Kutak biarkan mentari terbit supaya kau ada...
Kubiarkan hanya bulan temaram yang menerangiku karena kau ada...

Dalam gelap kuberharap...
Jangan terang, biarkan malam tetap...
Kalau terang kau menghilang...
Karena esok aku jadi tak tenang...

Tinggal saja... Jangan pergi...
Biarkan malam... Gelap malam...
Kamu disini...
Walau mata harus kelam...

Pergi ke Bulan

Aku sudah lelah hidup di matahari. Panas, liar, dan penuh ketidakpastian walaupun aku tau hangatnya cinta dan intimasi ada disana. Tapi aku gak bisa hanya menunggu dan tak hidup maju.
Ada cinta yang kutinggal disana, cinta itupun akhirnya benci padaku, tak mau dekat dan menjauh. Harusnya aku bisa saja benci juga, tapi cinta tidak bisa dikuret dalam sehari. Tangisku belum berakhir. Bencipun tak bisa muncul.

Aku harus ke bulan. Haruskah ku ke bulan? Dingin, kaku, dan sepi. Tak ada korona2 yang menyelubungiku lagi. Aku memang tidak punya cahaya lagi. Aku menumpangkan cahaya pada matahari. Matahari yang pernah menyayamgiku dulu. Matahari yang pernah memberi sinar di hati.

Aku menerawang lagi, aku bimbang lagi, aku benci keadaan yang membuat ku bimbang. Aku benci bertemu orang yang membuat aku bimbang. Aku benci kebimbangan.

Mimpi Di Batas Terujung

Aku bisa melihat... Aku bisa mendengar... Dan aku bisa merasakan... Tapi bukan untuk memiliki...

Peduli berlebihan sudah... Khawatir gak penting jg sering... Perhatian... Jangan ditanya deh...

Mau maju... Suatu hal yang gak mungkin... Mau mundur... Kok sayang ya? Kalo ditengah aja gak dapet apa-apa...

Dia juga denger... Dia juga lihat... Dan dia juga merasakan... Tapi sama gak ya?

Mimpi ya cuma mimpi... Indah... Tapi sesaat dan nagih... Masih bisa gak ya? Mmmm... Gak yakin... Tapi... Ya sudah lah... Karena mimpi sudah di batas terujung...

Pilar Yang Hilang

Matahari pagi ini masih terbit dari timur. Berarti dunia belum kiamat. Cuaca panas jakarta juga masih seperti biasanya, mengeruk keringatku untuk membasahi bajuku. Tapi hatiku sudah berbeda kini. Aku tak setegar biasanya. Aku sedang kehilangan pilar hidupku...

Damn... Kenapa siy angsa di kolam itu harus berduaan menyusuri sungai ? Dan kenapa juga burung merpati itu bercumbu di atas ranting di pohon tempatku duduk berteduh? Aku kah yang salah karena aku sendiri lagi, atau mereka saja yang tidak mengerti perasaanku?

Dia lagi apa ya sekarang? Apa dia benar2 benci aku?

Saatnya diam...

Ramai sekali bedug itu bertabuh...
Kudengar pula gemericik air di sungai kecil...
Indah terdengar keduanya berdampingan...
Tapi aku tetap diam...

Ada yang ceramah di tv...
Ada yang masak di dapur...
Ada yang cuma ngobrol dengan temannya...
Aku dengar... Tapi aku tetap diam...

Aku masih ingin punya banyak warna...
Aku masih ingin punya banyak kata...
Aku juga masih ingin punya banyak rasa...
Tapi kenapa aku harus diam...

Dulu kalau sepi, aku akan menuju keramaian..
Dulu kalau sendu, aku akan menuju kebahagiaan...
Kalau aku sendiri, aku akan menuju untuk berdua dan bertiga...
Tapi sekarang aku harus diam...

Haruskah aku diam?
Haruskah aku jadi diam?
Haruskan ada diam?
Apakah sudah saatnya untuk aku diam?