Hatiku galau, lagi-lagi galau… Kenapa ketika aku sedang bahagia dan berada di puncak keindahan dunia, selalu saja ada duri-duri bertebaran untuk menghancurkan semua kemolekan yang ada…
Dia telah kembali, Tantyo Prakoso, Pria impian sejuta gadis, dengan pribadi yang dapat meluluhkan semua hati gadis-gadis perawan, mbak-mbak nakal, maupun ibu-ibu yang haus lelaki. Bukan tipe idealku, tapi justru karena kenakalan dan sikapnya yang selalu acuh tak acuh yang membuatku pun terjerat madunya.
Kemarin malam, ketika aku sedang duduk sendirian merenung tanpa tujuan di belakang jendela kamarku, tiada hujan yang turun hanya suara gemuruh yang kian lama kian menyeramkan, telepon genggamku berdering. Betapa bahagianya bila itu Andaru yang menelepon, pria tercinta, kekasih sejati, calon suamiku.
Kuambil hp biruku itu, kulihat nomornya, kok ”Private Number”... Mmm... siapakah gerangan malam-malam meneleponku dengan kode nomor pribadi? Pasti Andaruku tercinta yang sedang kurang kerjaan menggodaku... Kubiarkan telepon itu berdering dan mati... Kupikir biar dia rasakan kalau aku tidak sedang dalam mood untuk bergurau. Tapi... Kok berdering lagi dengan kode yang sama ”Private Number”. Siapakah ini, sedemikian gigihnya meneleponku? Aku jadi penasaran tapi ragu-ragu untuk mengangkatnya. Akh... aku tidak tahan godaan, sebagai Miss Ring Ring Forever, tiada kuasa aku tidak menelepon.
Seperti petir yang telah menyambar, mengagetkan, menakutkan, tapi aku suka sinarnya yang terang sekejap dan gelap sekejap. Suaranya dari sisi sana begitu teduh, gagah, dan penuh kasih... ”Halo..., Anjani... Kamu masih ingat siapa saya?”, betul, itu mas Tantyo, playboy nomor satu di duniaku, yang berhasil menaklukkan hatiku beberapa tahun yang lalu di masa kelamku. Suatu masa ketika aku belum begitu kenal dengan cinta dan kasih sayang kekasih.
Aku kenal Mas Tantyo ketika dia masih jadi tetanggaku. Dia anak kuliahan yang hampir lulus di perguruan tinggi swasta di seputar by pass. Anak akuntansi yang kerjaannya cuma membicarakan angka, dan sedikit perhitungan. Katanya semuanya harus ”In Balance”, walau terkadang dia juga suka bilang, ”Balance” belum tentu benar lho, sambil tertawa terkekeh-kekeh. Perawakannya tinggi besar, agak padat, mungkin karena dia rajin ke gym. Tapi bila dibandingkan dengan aku yang mungil ini, dia seperti banteng, dan aku angsanya. Terlihat kan bagaimana berbedanya aku dengan dia. Kulitnya sawo matang, sedangkan aku putih, jadi seperti susu kopi, namun tidak semanis rasanya. Karena aku harus kehilangan dia ketika aku sedang mencintanya.
Mas Tantyo harus melanjutkan kuliah ke Harvard University, katanya dia mau melanjutkan kuliah S2. Secepat itu dia harus meninggalkanku dengan seribu janji bahwa dia akan kembali untukku. Secepat itu pula aku harus mencoba untuk menerima kenyataan yang ada.
Penantian yang membingungkan. Haruskah aku tetap mencinta sesuatu yang tak pasti? Haruskah aku menunggu pujaan hatiku kembali dan menerima pinangannya yang belum tentu aku dapatkan? Tak kuat rasanya aku untuk melakukan semua itu. Aku pun akhirnya memilih yang lain. Tapi kini, ketika aku sudah menyulam benang-benang cinta baru yang siap menjadi rajutan penuh kasih sayang, kenapa dia kembali untukku? Apakah dia memang kembali untukku?
“Halo… Mmm… Ini siapa ya?”, aku bersikeras untuk terdengar seperti tidak mengenal suaranya. ”Ini Tantyo..., aku ada di Jakarta.”, balasnya dengan nada yang meneduhkan. ”Mas Tantyo, apa kabarmu? Tega ya gak ngasih kabar dulu kalau mau datang, sudah kelar kah kuliahmu?”, aku bersemangat menyambutnya. ”Aku sedang liburan, kuliahku off tiga bulan.”, dia menjawab, ”Ketemuan yuk, aku rindu sama kamu.” O ow.... kata-kata dahsyat yang sudah lama tak kudengar dari dia. Aku hancur, luluh, dan merana. Aku harus bagaimana? Haruskah aku mengiyakan ajakannya? Apakah hatiku akan hancur dan luluh kembali karenanya? Haruskah aku melupakan Andaru untuk sesaat dan bermesraan dengannya? Pusing dan galau aku jadinya...
Rabu malam aku bertemu dengannya, di tengah taman kota yang sunyi dengan bangku-bangku taman yang antik berwarna hijau tua dan ditemani lampu taman yang cahaya temaramnya hanya cukup menerangi satu pasang hati yang sedang jatuh cinta. Aku tiba lebih dulu dari Mas Tantyo, seperti biasanya dia dengan jam karetnya. Resah, gundah, deg-deg an, tapi penasaran. Akhirnya langkah gagah itupun kudengar mendekat, aku tidak berani menoleh, aku takut hatiku goyah tak karuan. Mmmmm...tangan itu menyentuh pundakku dari belakang. Seperti mau pecah jantung ini. “Anjani…”, dia menyebut namaku. Aku pun akhirnya menoleh dan tidak tahu kenapa tanganku otomatis memeluk dia dengan erat sambil menyebut namanya, ”Mas Tantyo...”. Dia pun menyambutnya dengan hangat. Hampir saja air mata rinduku menetes, tapi aku tahan.
“Sudah lama kamu menunggu djani?”, dia bertanya. “Belum Mas, baru saja aku tiba”, aku membalas. Padahal aku lebih dari setengah jam menunggunya, tapi rasanya bibir ini tidak mampu mengutarakan kejujuran di hadapannya. Cinta menutupi segalanya.
Kami pun akhirnya berjalan berkeliling taman yang sepi itu. Bercerita mulai dari kenangan masa lalu hingga keadaan sekarang. Indah rasanya aku bisa bertemu dengannya, aku bisa memeluk dirinya, melupakan dunia nyata untuk sesaat. Sampai akhirnya, pertanyaan bodoh itu pun aku utarakan. “Mas… masih cintakah kamu padaku?”. “Anjani… iya aku masih cinta kamu”, dia membalas. “Kalau kamu cinta aku kenapa baru sekarang kamu menemui aku?, kenapa kamu tidak pernah menghubungi aku? Kenapa kau biarkan aku bertanya-tanya dan berkhayal tentang kenyataan yang ada?”, aku menyambut dengan lemah. “Aku tidak mungkin mendampingimu, hatiku sudah dimiliki gadis lain,” jawabnya dengan perlahan.
Separuh hatiku hancur, tapi aku juga jadi berpikir apakah aku harus mengatakan sejujurnya bahwa aku pun sudah memiliki yang lain selain dia. Aku sendiri tidak menunggu dirinya untuk kembali meminangku. Tidak, aku tidak akan bilang padanya. “Tapi kamu juga sudah punya Andaru
Aku jadi hilang akal sejenak. Akhirnya aku pun mengakuinya. Tapi aku bilang, ”Iya tapi aku masih cinta kamu Mas.” “Aku juga Anjani… Aku tidak bisa melupakan kamu, tapi aku harus berjalan dengan cinta yang sekarang ada, hatimu masih ada di hatiku, dan aku harap hatiku pun masih ada di hatimu.”, sambil memelukku dia berkata.
“Jangan lepaskan pelukanmu Mas”, kataku dalam hati. Aku masih rindu dengannya, dan aku tau bahwa malam itu adalah malam terakhir aku bisa merasakan hangatnya cintanya mengalir dari dekapannya. Aku tau itu malam terakhir kata-kata rindu terucap dari bibirnya untuk masuk langsung ke telingaku dan bertepi di hatiku. Air mataku tak terbendung lagi. Aku jadi mellow. Kenapa dia bukan lelaki yang dulu, yang seharusnya jadi milikku selamanya?
Tanpa kusadari, tiba-tiba aku melepaskan dekapannya dan menjauh membuat jarak dengannya. Dia pun terkejut seraya berkata,”
Saat-saat terakhir yang aku nikmati mendalam. Esok pagi dia harus pergi, pergi dari diriku, karena dia harus memilih jalannya. Taman kota, Lampu taman, dan bangku hijau menjadi saksi pertarungan nurani dan cinta kami berdua. Aku gak rela dia pergi, tapi aku juga harus cinta dia untuk kebaikan dirinya. Aku pun harus kembali ke realita, ada Andaru kekasihku, calon suamiku. “Aku ikhlas Mas melepasmu...”, kataku dalam hati sesaat sebelum kulepaskan dekapannya. Kubalik tubuhku, ku kecup kedua pipi dan keningnya. Aku berjalan meninggalkan dia. Derai air mata tak mampu kubendung lagi. Tapi aku berjalan dengan penuh keyakinan bahwa ini untuk yang terbaik. Dia akan kujadikan masa lalu bahagiaku. Akan kusimpan dia di salah satu pojok hatiku. “Mas Tantyo, aku sayang kamu….”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar